Headlines News :
::::::>>> www.DutaBangsaNews.com Membangun Kinerja Anak Bangsa <<<::::::
Home » » ICW Kritik Keras UU KPK: Pemberantasan Korupsi Dipastikan Suram!

ICW Kritik Keras UU KPK: Pemberantasan Korupsi Dipastikan Suram!

Written By mansyur soupyan sitompul on Rabu, 18 September 2019 | 11.01

Jakarta,dutabangsanews.com I Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keras pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. ICW memprediksi pemberantasan korupsi di masa depan bakal suram.

"Pemberantasan korupsi dipastikan suram di masa mendatang. Hal ini dikarenakan regulasi yang mengatur tentang kelembagaan KPK sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR. Krusialnya adalah seluruh naskah yang disepakati tersebut justru akan memperlemah KPK dan membatasi kewenangan penindakan lembaga antikorupsi itu," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Rabu (18/9/2019).

Ada sejumlah catatan ICW. Pertama, soal masalah formil pembahasan revisi UU KPK ini karena tidak masuk Prolegnas Prioritas tahun 2019 hingga pengesahannya yang hanya dihadiri 80 anggota DPR di dalam ruang paripurna.

"Revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2019. Ini mengindikasikan pembahasan regulasi DPR bermasalah. Selain dari itu, pengesahan revisi UU KPK juga tidak dihadiri seluruh anggota DPR. Hal ini terkonfirmasi dari beberapa pemberitaan yang menyebutkan bahwa hanya 80 orang yang menghadiri rapat tersebut, dari total 560 anggota DPR RI," ujarnya.

Berikutnya, ada masalah dalam isi UU KPK baru tersebut. Antara lain keberadaan dewan pengawas yang punya wewenang memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan.

"Pembentukan dewan pengawas. Isu ini sebenarnya bukan hal baru. Hampir setiap naskah perubahan UU KPK hal ini selalu masuk dalam pembahasan. Patut untuk dicermati, bahwa sejatinya pengawasan KPK telah berjalan, baik internal maupun eksternal. Untuk internal sendiri KPK telah memiliki kedeputian Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM). Dalam kelembagaan KPK sendiri, deputi ini pernah menjatuhkan sanksi pada pucuk pimpinan tertinggi KPK, yakni level komisioner, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang," ucapnya.

Hal itu, kata Kurnia, membuktikan tak ada yang kebal hukum di lingkup internal KPK. Selain itu, pengawasan selalu dilakukan oleh pihak eksternal, dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR, publik, hingga presiden.

Pengawasan, menurut Kurnia, juga dilakukan dalam sisi penindakan. Salah satu contoh pengawasan itu adalah lewat kekuasaan kehakiman, seperti lewat praperadilan.

"Pengawasan ini dilakukan oleh institusi kekuasaan kehakiman. Misalnya, jika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka atau saat KPK melakukan penyitaan, penggeledahan, dan berbagai upaya paksa lainnya maka fungsi kontrol yang dapat ditempuh adalah melalui jalur praperadilan. Pertanyaan sederhananya, apakah dalam praperadilan KPK pernah mengalami kekalahan? Pernah, maka itu dapat dikatakan bahwa fungsi tersebut berjalan dengan baik," ujarnya.

Kritik berikutnya ditujukan terkait kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK dalam waktu 2 tahun. ICW menyebut isu ini sudah dibantah berkali-kali lewat putusan Mahkamah Konstitusi pada 2003, 2006, dan 2010.

"Implikasi serius lainnya pada poin ini adalah perkara-perkara besar yang selama ini ditangani oleh KPK akan sangat memungkinkan untuk dihentikan penanganannya. Patut untuk diamati bahwa setiap perkara memiliki perbedaan kompleksitas penanganan, maka dari itu menjadi tidak logis memasukkan klausula waktu sebagai dasar mengeluarkan SP3," tuturnya.

Masalah lainnya adalah soal penyadapan harus izin dewan pengawas. Menurut Kurnia, DPR dan pemerintah ingin memindahkan perdebatan dari semula izin ketua pengadilan dan kini menjadi lewat dewan pengawas.

"Logika seperti ini sulit untuk diterima karena justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK. Selama ini KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak mana pun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi," tutur Kurnia.

Lewat UU baru ini, KPK juga tak lagi menjadi lembaga negara independen karena masuk rumpun kekuasaan eksekutif. Menurut ICW, narasi pasal 3 UU KPK baru bertentangan dengan teori lembaga negara independen yang memang ingin dipisahkan dari cabang kekuasaan lainnya.

Terakhir, ICW juga mengkritik UU ini karena dianggap tidak partisipatif, seperti melibatkan KPK secara institusi. Menurut Kurnia, UU ini bakal mendapat banyak kecaman dari masyarakat.

"Untuk itu, maka upaya DPR bersama pemerintah kali ini dipastikan menuai banyak kecaman dari masyarakat, salah satunya dengan meningkatnya permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sederhananya, jika sebuah regulasi diwarnai dengan uji materi, maka sesungguhnya legislasi tersebut buruk dan tidak diterima oleh publik," jelasnya.

Revisi UU KPK disahkan dalam rapat paripurna, Selasa (17/9). Ada sejumlah perubahan yang terjadi lewat revisi UU ini, seperti KPK memiliki dewan pengawas, izin penyadapan harus lewat dewan pengawas, pimpinan KPK yang bukan lagi menjadi penyidik dan penuntut umum, hingga penerbitan SP3.RED
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Published by : DutaBangsaNews.Com
Copyright © 2006. - All Rights Reserved
Media Online :
www.dutabangsanews.com